Teologi Transendental Aktif dalam Pembacaan Neo-Modernisme Islam

Teologi Transendental Aktif dalam Pembacaan Neo-Modernisme Islam

Tulisan ini menggungah kembali semangat logika teosentris – bukan sebagai upaya meruntuhkan kemapanan antroposentrisme – tetapi langkah sinergitas membangun makhluk elit manusia mencapai predikat istimewa di millennium ke-3 ini. Karena jika tak terkendali, semangat antroposentris yang liar memicu opsi tak percaya terhadap absolutisme doktrin Islam. Legalitas ijtihad dalam Islam mesti dilakukan dengan tetap mengacu kepada sumber primer al Qur’an dan al Hadits, bukan – yang pada taraf tertentu menjadi alat legitimasi masalah faktual abu-abu. Begitu juga sengketa berkepanjangan di wilayah furu’iyah harus diberi ruang penyelesaian, dan bersifat segera. Sebagaimana problem free will dan free destination dalam teologi Islam, merupakan kebutuhan mencapai keyakinan menjalani perlombaan kehidupan, tetapi tidak untuk saling dibenturkan. Tidak ada yang baru, bahkan Baron d’Holbach (1723) yang menawarkan cara terbarukan dalam beragama, tetap saja hanya menggeser paradigma, bentuk lain dari neo-antroposentrisme.

Berbicara teologi transendental seperti mesin waktu kembali ke zaman tradisional, bahkan lebih tua dari itu, tetapi efektifitasnya mampu menerobos sampai ke post-modern. Sebuah keyakinan – meski bisa diubah – sebagai dasar, tetap mengandung pra-syarat compatible dengan alam pikiran geografis an sich. Berbeda pemahaman logika yang bisa dimodifikasi, extrimnya a historis. Memaksakan Hardware Timur untuk program softwate Barat mengakibatkan hang down, not responding hingga kerusakan jaringan fisik. Modernisme Barat tidak boleh menanggalkan jatidiri tradisionalisme Timur. Kondisi bertahan hingga menyerang akan bisa tercapai dengan mengasah potensi keunikan kemampuan sendiri, tidak hanyut terus oleh arus dinamika kehidupan global. Teologi transendental aktif memberikan akses komunikasi dua arah, yaitu teosentris yang antroposentris, dan bukan sebaliknya. Untuk itu, filter diperlukan. Teori Barat secara apa adanya cenderung materialis, de facto tidak demikian. Dengan memakai lensa tradisional ketimuran, tetap saja ada muatan spiritual dalam aliran positivisme hingga materialisme sekalipun.

Penulis : Agus Sultoni, S.Fil.I., MSI.