Manfaat Belajar di Rumah

Manfaat Belajar di Rumah

Selama masa pandemic ini semua siswa dan santri tidak lagi belajar seperti biasanya, mereka diharuskan belajar di rumah. Umumnya para siswa berada di sekolah setidaknya 6 sampai 8 jam sehari, pada saat bersamaan orang tua mereka juga bekerja dengan berbagai profesi. Apalagi para santri, mereka biasanya sepenuhnya tinggal di pondok dan terpisah dengan orang tuanya. 

Nah, di saat pandemic ini mereka harus berada di rumah dan mereka diminta untuk belajar di rumah saja. Permintaan ini tampaknya sederhana, tapi membuat pusing orang tua. Betapa tidak, biasanya anak-anak mereka belajar di sekolah yang didampingi dan dibimbing oleh para guru, sekarang orang tua yang harus mendampingi dan membimbingnya. Meski ada istilah belajar jarak jauh yang dilakukan oleh para guru, belajar melalui media online dan sejenisnya, tetapi anak-anak tidak bisa dilepaskan sendiri, mereka masih membutuhkan pendampingan. Orang tua umumnya kelabakan dalam hal ini.

Mungkin kalau para orang tua membayangkan harus menggantikan peran guru sepenuhnya, mereka akan menghadapi kesulitan, karena tidak semua orang tua memiliki ‘kapasitas’ untuk menjadi guru. Karena seperti itu, sebaiknya orang tua menyadari ‘keterbatasannya’ dan menentukan skala prioritas mana dan apa yang harus dididikkan untuk anak-anak mereka. Pada hakekatnya kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua. Kalau aspek pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) tidak mampu mereka ajarkan sendiri, maka aspek pendidikan nilai-nilai, pembentukan karakter dan akhlak mulia yang harus menjadi fokus orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang baik, yang dalam terminologi Islam adalah menjadi anak yang shalih. Anak yang shalih adalah investasi masa depan bagi orang tua (waladun shaalihun yad’u lahu). 

Agar anak kita menjadi anak yang shalih, kita perlu belajar dari Luqman al-Hakim sebagaimana tertuang dalam surah Luqman: 12-19. Ada lima hal penting yang beliau ajarkan. Pertama adalah pendidikan agama. Inti dari pendidikan agama adalah masalah tauhid, mengesakan Allah, yaitu meyakini bahwa Tuhan itu Esa. Meski di dunia ini ada puluhan agama dan ribuan jenis kepercayaan, Tuhannya ya satu, Tuhan alam semesta. Perbedaan keyakinan yang terjadi di tengah kehidupan manusia perlu disikapi sebagai ‘dialektika kehidupan’ saja. Di sinilah urgensi dakwah itu dipahami. Kedua adalah pendidikan untuk berbakti kepada orang tua. Keluarga adalah entitas terkecil bangunan masyarakat, dan hubungan yang harmoni dalam keluarga, terutama hubungan orang tua dan anak-anaknya, merupakan pondasinya. Jika dalam keluarga itu hadir anak-anak yang berbakti pada orang tuanya, bisa dipastikan akan hadir keluarga yang harmoni tersebut, yang pada gilirannya akan terbangun masyarakat yang baik. Ketiga adalah pendidikan untuk selalu berbuat baik, sekecil apapun kebaikan itu dilakukan akan memberi efek kebaikan bagi kehidupan. Keempat adalah pendidikan karakter dasar, bagaimana hubungan dengan Sang Khaliq mesti  dibangun (hablum minalllah) dan hubungan dengan sesama makhluk, khususnya manusia harus dilakukan (hablum minannas). Kelima adalah pendidikan sikap dan perilaku yang mengedepankan sikap tawaddu’ dan tidak sombong. 

Dengan mencontoh Lukman al-Hakim dalam mendidik anaknya yang kita coba ajarkan pada anak-anak kita di rumah, insya Allah anak-anak kita akan tumbuh menjadi anak yang shalih. Wallahu a’lam bis shawab

Penulis : Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I., M.Pd